Kamis, 29 April 2010

KUMPULAN PUISI PEKIK SAT SISWONIRMOLO

BUMI PERTIWI


Layung layung langit berwarna merah, angin bertiup tiada tentu arah.
Meski hari belumlah senja, matahari takjua pancarkan terang cahaya.
Jalanan desa berlumut lembab, rimbun bambu bayang bayang gelap
kampung di ujung senyap, aroma daun dan tahi kering meruap
Di gubuk bambu reyot tungku beku tak berasap
lumbung kosong padi menguap
Diranjang bambu kumal tikar pandan
bujur tubuh kaku biru lebam
Dibilik gelap pengap tak berjendela
seorang ibu hamil muda dan anaknya
Mati, meregang nyawa karena kelaparan
Titir kenthongan dan gonggong anjing
mengiring kidung sumbang
di sini Bumi Pertiwi
negeri gemah ripah loh jinawi


13032008



LELAKI DAN PEMBASMI SERANGGA


Seorang lelaki hatinya semplah,
Perawan yang dicintainya meludah di wajah,
pandang berputar harapan ambyar,
gelap hati, gelap mentari,
Pada kaleng pembasmi serangga,
tertumbuk pandang matanya,
gemetar jiwa, gemetar raga,
teguk teguk merasuk, teguk teguk mabuk.
Pupuslah, segala masalah,
pupuslah segala resah.
Bergolak di perut, berbusa di mulut,
mengiring kejang di awal tebang.
Kematian yang sia sia.

Kebumen, 15 Februari 1984



DI GAZA

Di gaza di gaza di gaza
Langit gulita gemerlap orion pijar-pijar bunga api
Gemuruh gelegar
rudal dan meriam
berdentam
bertabur serbuk putih membakar

Di gaza di gaza di gaza
Asap mengepul di sela-sela puing
Aroma mesiu, anyir darah dan sangit leleh lilin
daging terbakar
Satu koma lima juta nyawa tak berdosa direnggut sia sia

Di gaza di gaza di gaza
Azab Holocoaust di Palestina
Maut mengepung di setiap jiwa
Panorama pembantaian, bangkai bayi dan perempuan
terkoyak
tempayak berserak

Di gaza di gaza di gaza
kelebat panji panji putih tak teraih
kepak sayap merpati putih berlumur darah
lambai gemulai tangan tangan lembut bersambut maut
tak kuasa mengetuk iba
nurani tirani zionis
: bertaring runcing
tak bermata
tak bertelinga
05022009


SAJAK RINDU I

Kasih,
Tiada kuasa kutepiskan bayangmu
dari pelupuk mata batinku
meski rentang setapakku, kian memanjang
lantaran pekatnya gema rindu
yang selalu berdentam,dalam detak nadi darahku.

Kasih,
Kau samudera nurani maha luas,
bagi jung renta kehidupanku,
dimana kelak, sukmaku kan bermuara,
pabila segalanya tlah berakhir.

Kasih,
Meski berpuluh kali sudah,
namamu sengaja kulupa, tiada pernah kueja,
dan kutimbun dalam keasikan sibuk dunia,
namun selalu saja, kegelisahanku bangkit,
mengungkit rindu
lantaran tiada kuasa kutepiskan bayangmu,
dari pelupuk mata batinku.


Kebumen, Sabtu 25 Februari 1989



BAGAIMANA

Bagaimana
Kau dengar puisiku
: tiupan seruling bambu di padang gembala
hembusan lembut angin lembah kala senja
kemilau tetesan embun di pucuk dedaunan
gemuruh deburan ombak samodra
taburan halus miang bambu
garam di sayatan luka sembilu
atau celoteh bayi lucu dengan bahasa purba
yang tak kau tahu maknanya

Setidaknya
Kau lihat tangan-tangan kecilku, jemari-jemari rapuh
: melambai
mengepal
menuding
Kau tak jua berpaling
Bergeming
Berharap
Kau dengar suara-suara halusku
: berbisik
bergumam
berceloteh
berteriak
Kau pekak
Bisu.

Mestinya kuumpat kau dengan semburan ludah serapah hina
Mestinya kuambil batu, dan kutimpukkan ke wajahmu
Karena ternyata tuan tak tuli, tak tunanetra
tak tunawicara
Tuna nurani barangkali

Jangan salahkan bila kugunakan
: bahasa batu
bahasa belantara
Lantaran sia-sia menyapamu dengan bahasa kalbu
Lantaran sia-sia bicara padamu dengan bahasa manusia
Aku jadi bertanya
Jangan –jangan tuan bukan manusia

06022009


BENCANA
( 5 April 1982 )

Semburat kembang kembang pijar
Jingga memoles cakrawala
Gumpal kembang kembang jelaga
Gulita memeluk mega
Didentam dentam meriam alam
Didengus dengus angin panas berhembus
Perempuan baya, kain berkawan kutang
Lelaki baya, sarung petak usang
terburu berlari mencari perlindungan.

Gemuruh buana menimang sukma
Gejolak pijak menghentak raga
Tercabik sutra sutra nurani
Terkoyak pelangi
Terbakar hijau hamparan permadani

Dirintik rintik gerimis debu
Ditalu talu hujan batu
Belalang menangis kehilangan ladang
Burung menangis kehilangan sarang
Sanak menangis kehilangan kadang
Menyesali cerita indah nenek moyang

Di ufuk mentari tenggelam
sayup sayup tembang megatruh terdendang
Di ufuk mentari tenggelam
sayup sayup kidung keluh berkumandang
Selaksa hasta menggapai iba
selaksa rintih memohon kasih
demi nyala api pelita
demi melekat sukma dalam raga.


Kebumen Nopember 1982



BAYANGAN
: Persembahan Indriotomo Brigandono


Kita adalah prajurit,
yang merebut panji di tengah nafsu,
mengendalikan kuda perang supaya terkendali.

Engkau musuhmu engkau.
Aku musuhku aku.

Menatap medan dengan mata telanjang,
jiwa kita adalah pedang,
raga kita adalah bayang bayang.

Kita satukan ,
air dan gelombang,
ia begitu lembut dan dahsyat,
Berdiri adalah kebebasan.

Langkah langkah kita
janganlah kesiangan,
tataplah dengan tajam,
agar ia bangun mengenal manusia,
di arena bayang bayang,
Karena hidup adalah bayangan.

Berjuang adalah semangat kehidupan,
mencari hakekat jiwa mencari arti diri.
Kehidupan itu beban,
kita tanggung siang dan malam,
apakah yang tak hidup tak memanggul beban?
Sebelum matahari meledak,
Aku mencari di alam kehidupan.


Kebumen, 1982.


KUPUTARUNG

Ada sebuah rumah megah dari masa silam
dimana seribu kisah terpampang
dimana sejuta bintang terpajang
arena suka suka hura hura warga kota
Rumah megah pancarkan gemerlap cahaya
terangkan pikiran segarkan jiwa

Dan ketika waktu menjelma mendadi hantu
dengan murka, merenggut segala bianglala
beringas
melangkah menggilas sejarah
Rumah megah tlah berubah,
menjadi serupa rumah purba
Bunga bangkai penghias kota

Di atap atap rapuh disangga pilar pilar lekang
berbondong bondong kelelawar hitam singgah bersarang
berduyun duyun gelandangan menggelar tikar
dimana lelaki pezina puaskan dahaga birahi
berbaur pelacur dalam bujur mendengkur


Siliwangi 1987


TLAH TIBA SAATNYA

Jangan biarkan darah beku nadi tersumbat
Jangan biarkan penyair bisu mulut tersekap
Jangan biarkan api padam bara terpendam
Jangan biarkan padri mati biara terkunci
Jangan biarkan paramuda binasa gairah terpenjara
Mimpi saja tak punya, miskin dan bodoh
Jangan biarkan

Kini tlah tiba saatnya
Belenggu mesti diputuskan
sekat sekat mesti dikuakkan
Tirai tirani mesti disingkapkan
Nyalakan lentera
Segala harus dibuka
Tiada terselubung tiada tersembunyi
Kebusukan pada bangkai keharuman pada melati
Tiada imitasi

Biarkan
Merah pada merah kuning pada kuning
hijau pada hijau biru pada biru
hitam pada hitam putih pada putih
Merah kuning hijau biru hitam putih adalah
Bianglala yang mempesona

Kebumen, Pebruari 1989


PADANG TERBAKAR


Seorang gembala tegak dipapar padang terbakar
tanah kembara, rapuh membara
gemertak reranting dan rumputan
asap jelaga, bergulung membumbung menusuk cakrawala
Pada mata merah saga, ditatapnya mentari menyala
dijemari terkepal, gembala lata menggenggam dendam

Arang ilalang meranggas
Selapang padang mencadas

Ketika mentari semakin kejam, tombak tombak terik
menghujam pada bumi siang malam
Gembala membidik mentari dengan panah pucuk ilalang
Dengan garang angin kering kemarau, menepiskan
panah pucuk pucuk ilalang

Dan pada tirai kaca fatamorgana, muncul bayang bayang
rimba yang luas ditebas
bukit bukit licin lunas dipangkas
Dan pada tirai kaca fatamorgana, muncul bayang bayang
dunia yang semakin buas

Padang kian terbakar
gembala dan domba domba mati
terkapar


Kebumen, Sabtu 25 02 89



SAJAK RINDU II

Kekasihku
slalu kusebut namamu
disetiap tarikan napasku
lantaran rinduku tiada pernah pudar
diserentang waktu penantian

Kekasihku
kaulah mustika hidupku
yang gemerlap dipalung hatiku
lantaran cahyamu tiada pernah padam
disepanjang waktu yang terbentang

Sesungguhnya
slalu berdebar dadaku
disetiap kusebut namamu
lantaran gelora damba yang membara
dan hasratku yang kian menggebu



Nopember 2003


SAJAK KAMAR


Tembok kamarku tak lagi putih kemilau,
Ada bercak darah, dari pancaran nadi yang mati,
Hitam tiada berarti
Pada cermin bingkai retak, kutatap bayang
kujur tubuhku, penuh luka bekas cakaran
kuku kuku masa silam jemariku sendiri.
Tergores sejuta parit hitam,
menikam jantung kalbu.
Dari kamar ini bermula,
seorang lelaki menyusur pusaran malam,
Menadah embun yang menetes, dari sanubari sesama.
Serupa jung renta, mengarung samodera keruh,
dalam badai topan kabut.
Kepul asap dari puntung yang dipungut
sepanjang perjalanan
Menyusur pagar gunung gelombang, tatapan tajam mata kerang.
Serenta biduk papa yang rapuh, yang tiada dijalari,
darah bara di kujur tubuhnya.
Singgah ditiap bagan dan dermaga
Dan ketika cahaya perempatan padam,
Pintu rumah terkunci diam. Menggema
Gaung seribu tanya,
“ Kik, mau kemana?”.


Kebumen, 13 Nopember 1987


RUMAH KITA


Rumah kita adalah kawah candradimuka
dimana kita
Gatotkaca Gatotkaca muda dibenturi ujian
untuk mandiri di samodera kehidupan
masa depan.

Bapak ibu kita telah jadi dewa dan pujangga
yang dengan jemari dan tinta kencana
menggoreskan wejang dihati kita

Rumah kita telah jadi istana
dimana bapak ibu jadi raja dan ratu
Dari padanya mengalir titah bijaksana dan restu
pada kita anak anak putra mahkota.

Rumah kini telah bertambah indah
oleh bunga bunga rindu masa lalu
dimana kita berdesakan satu ranjang
bergumul antara canda dan pertengkaran

Rumah kita kini telah jadi candi
yang berangsur para biara pergi
meninggalkan masa silam dan sepi.


Kebumen, 05 Oktober 1986


Tidak ada komentar:

Posting Komentar