Senin, 15 April 2019

SENI CEPETAN


SENI CEPETAN 


Sampai dengan tahun 2012 kesenian Cepetan belum masuk dalam  daftar jenis kesenian di Dinas Perhubungan Komunikasi & Informasi Kabupaten Kebumen.
 Melalui Sarasehan Budaya tahun 2014 yang diselenggarakan di Aula DPRD Kabupaten Kebumen pada , Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen merekomendasikan seni Cepetan sebagai ikon kesenian asli Kebumen.  Untuk menguatkan rekomendasi tersebut DKD Kebumen beberapa kali menyelenggarakan  pementasan cepetan alas pada berbagai even, baik di Alun-alun Kebumen, ataupun di dalam gedung pertunjukan.

Diawali dengan mementaskan seni Cepetan pada acara Muhibah Seni 2013 di Alun-Alun Kebumen, dengan judul Laskar Lukulo. Kemudian pada Minggu (19/10/2014) kesenian tradisional asli Kebumen tersebut digelar setelah usai Car Free Day Minggu, 19 Oktober 2014. Ketua DKD, Pekik Sat Siswonirmolo MPd menyatakan, pementasan cepetan alas itu digelar dalam rangka memeriahkan Gempita Borobudur bertajuk Cepetan Sewu.
Pertunjukan Seni Cepetan selanjutnya pada Senin 22 Desember 2014 dalam bentuk kolaborasi Kethoprak Dangsak di Aula Setda Kebumen dan 29 Agustus 2016 dab juga Kethoprak Dangsak di Panggung  budaya PRPP Jawa Tengah dengan lakon Reksa mustika Bumi
Seni Cepetan oleh Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Kebumen, direkomendasikan sebagai Ikon Kesenian Asli Kebumen pada Sarasehan Budaya tanggal 10 Oktober 2014 di Aula DPRD Kebumen. Sebagai langkah selanjutnya DKD melakukan penelusurandan pengumpulan data tentang keberadaan seni Cepetan di Kebumen.



Dari hasil wawancara Aris Panji dengan almarhum Mbah Roeslan, selaku tokoh masyarakat sesepuh kesenian Cepetan di Kajoran yang juga juru kunci makam mbah Agung Kajoran Karanggayam seusai acara Arisan Teater di Balai Kelurahan Kebumen tahun 2010, diperoleh penjelasan bahwa :
Kesenian Cepetan pada awalnya merupakan seni arak-arakkan penyerta pada perayaan-perayaan pesta rakyat atau arak-arakkan seperti “merti desa” (bersih desa), dan perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Cepetan berkembang di wilayah utara Kebumen khususnya Karanggayam di kawasan onderneming (perkebunan luas yang dikuasai Hindia Belanda).
Muncul sebagai bentuk perlawanan non fisik, rakyat di Karanggayam dalam mengusir onderneming (Hindia Belanda) dengan membuat topeng menakutkan terbuat dari kayu randu, kayu pule dan kayu cangkring, yang mudah dibentuk.
Topeng dibentuk menjadi sosok yang menakutkan dengan disertai ijug sebagai rambutnya.
Topeng-topeng tersebut dipergunakan secara mengejutkan untuk menakut-nakuti pemilik onderneming sehingga mereka ketakutan dan merasa tidak kerasan berada di sana dengan  menyebutnya sebagai wilayah angker.
Pada akhirnya diharapkan dengan rasa ketakutan tersebut mereka pergi meninggalkan wilayah onderneming.
Pembuatan topeng sendiri bukan sekedar mengukir namun melibatkan ritual tertentu dengan jenis kayu tertentu di wilayah tertentu yang diyakini memiliki kekuatan magis.
Pada perkembangannya, Cepetan dikembangkan menjadi seni tari tradisional yang awalnya diiringi dengan suara kenthongan dan kaleng sehingga disebut dengan kesenian “Dangsak” atau “Tongbreng”. Saat sekarang Seni Cepetan telah diiringi dengan Gamelan (simbal, bedhug, saron) seperti pada kesenian Ebleg.
Penjelasan Mbah Ruslan ini tahun 2013 dibenarkan oleh Dawintana (73), sesepuh Paguyuban Budaya Pertapan Tunggal Randu Budaya Dusun Kebon, Desa Watulawang, Kecamatan Pejagoan. Dawintana merupakan generasi ketiga pelestari Cepetan di desanya. Senada dengan  pernyataan Mustarja (69), sesepuh Pertapan Tunggal Paguyuban Prajineman Tri Tunggal Dusun Perkutukan, Desa Peniron, Kecamatan Pejagoan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar