SENI CEPETAN
Sampai
dengan tahun 2012 kesenian Cepetan belum masuk dalam daftar jenis
kesenian di Dinas Perhubungan Komunikasi & Informasi Kabupaten Kebumen.
Melalui Sarasehan Budaya tahun 2014 yang
diselenggarakan di Aula DPRD Kabupaten Kebumen pada , Dewan Kesenian Daerah
(DKD) Kebumen merekomendasikan seni Cepetan sebagai ikon kesenian asli Kebumen.
Untuk menguatkan rekomendasi tersebut DKD Kebumen beberapa kali
menyelenggarakan pementasan cepetan alas pada berbagai even, baik di
Alun-alun Kebumen, ataupun di dalam gedung pertunjukan.
Diawali
dengan mementaskan seni Cepetan pada acara Muhibah Seni 2013 di Alun-Alun
Kebumen, dengan judul Laskar Lukulo. Kemudian pada Minggu (19/10/2014) kesenian
tradisional asli Kebumen tersebut digelar setelah usai Car Free Day Minggu, 19
Oktober 2014. Ketua DKD, Pekik Sat Siswonirmolo MPd menyatakan, pementasan
cepetan alas itu digelar dalam rangka memeriahkan Gempita Borobudur bertajuk
Cepetan Sewu.
Pertunjukan Seni Cepetan selanjutnya pada Senin
22 Desember 2014 dalam bentuk kolaborasi Kethoprak Dangsak di Aula Setda
Kebumen dan 29 Agustus 2016 dab juga Kethoprak Dangsak di Panggung budaya PRPP Jawa Tengah dengan lakon Reksa mustika
Bumi
Seni Cepetan oleh Dewan Kesenian Daerah Kabupaten
Kebumen, direkomendasikan sebagai Ikon Kesenian Asli Kebumen pada Sarasehan Budaya tanggal
10 Oktober 2014 di Aula DPRD Kebumen. Sebagai langkah selanjutnya DKD melakukan
penelusurandan pengumpulan data tentang keberadaan seni Cepetan di Kebumen.
Dari hasil wawancara Aris Panji dengan almarhum Mbah Roeslan, selaku tokoh
masyarakat sesepuh kesenian Cepetan di Kajoran yang juga juru kunci makam mbah
Agung Kajoran Karanggayam seusai acara Arisan Teater di Balai Kelurahan Kebumen tahun
2010, diperoleh penjelasan bahwa :
Kesenian Cepetan pada awalnya merupakan seni
arak-arakkan penyerta pada perayaan-perayaan pesta rakyat atau arak-arakkan
seperti “merti desa” (bersih desa), dan perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Cepetan berkembang di wilayah utara Kebumen
khususnya Karanggayam di kawasan onderneming (perkebunan luas yang
dikuasai Hindia Belanda).
Muncul sebagai bentuk perlawanan non fisik,
rakyat di Karanggayam dalam mengusir onderneming (Hindia Belanda) dengan
membuat topeng menakutkan terbuat dari kayu randu, kayu pule dan kayu
cangkring, yang mudah dibentuk.
Topeng dibentuk menjadi sosok yang menakutkan
dengan disertai ijug sebagai rambutnya.
Topeng-topeng tersebut dipergunakan secara
mengejutkan untuk menakut-nakuti pemilik onderneming sehingga mereka
ketakutan dan merasa tidak kerasan berada di sana dengan menyebutnya
sebagai wilayah angker.
Pada akhirnya diharapkan dengan rasa
ketakutan tersebut mereka pergi meninggalkan wilayah onderneming.
Pembuatan topeng sendiri bukan sekedar
mengukir namun melibatkan ritual tertentu dengan jenis kayu tertentu di wilayah
tertentu yang diyakini memiliki kekuatan magis.
Pada perkembangannya, Cepetan dikembangkan
menjadi seni tari tradisional yang awalnya diiringi dengan suara kenthongan dan
kaleng sehingga disebut dengan kesenian “Dangsak” atau “Tongbreng”. Saat
sekarang Seni Cepetan telah diiringi dengan Gamelan (simbal, bedhug, saron) seperti pada kesenian Ebleg.
Penjelasan Mbah Ruslan ini tahun 2013 dibenarkan oleh Dawintana
(73), sesepuh Paguyuban Budaya Pertapan Tunggal Randu Budaya Dusun Kebon,
Desa Watulawang, Kecamatan Pejagoan. Dawintana merupakan generasi ketiga
pelestari Cepetan di desanya. Senada dengan pernyataan Mustarja (69),
sesepuh Pertapan Tunggal Paguyuban Prajineman Tri Tunggal Dusun Perkutukan,
Desa Peniron, Kecamatan Pejagoan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar